SEJARAH ARUNG PALAKKA
Biografi
Kelahiran
dan kematian
Arung
Palakka lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, pada tanggal 15 September 1634 sebagai
anak dari pasangan La Pottobunna, Arung Tana Tengnga, dan istrinya, We Tenri
Suwi, Datu Mario-ri Wawo, anak dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam,
Arumpone Bone.
Arung
Palakka meninggal di Bontoala, Kesultanan
Gowa, pada
tanggal 6 April 1696 pada umur 61 tahun dan dimakamkan di Bontobiraeng.
Pernikahan
Arung
Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju namun akhirnya mereka bercerai.
Selanjutnya, ia menikah dengan Sira
Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16
Maret 1668, sebelumnya istri dari Karaeng Bontomaronu dan Karaeng
Karunrung Abdul Hamid.
Pernikahan ini pun tidak bertahan lama dan keduanya bercerai pada tanggal 26
Januari 1671. Untuk ketiga kalinya, ia menikahi We
Tan-ri Pau Adda Sange Datu-ri Watu, Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20
Juli 1673. Istri ketiganya ini adalah putri dari La
Tan-ri Bali Beowe II, Datu Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni,
Adatuwang Sidenreng. Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14
September 1684 dengan Daeng Marannu, Karaeng Laikang,
putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya
adalah istri dari Karaeng
Bontomanompo Muhammad.
Arung Palakka
Arung Palakka adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih
kemerdekaan dari Kesultanan
Gowa pada
tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar. Palakka pula yang menjadikan suku
Bugis sebagai
kekuatan maritim besar yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan
tersebut selama hampir seabad lamanya.
Arung
Palakka bergelar La Tan-ri Tatta To' Urong To-ri Sompi Patta Malampei
Gammana Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din,
mengacu pada ejaan huruf lontara. Adapun pelafalan yang tepat adalah La
Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme'na Daeng Serang To'
Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin.
Arung Palakka adalah tokoh sentral yang
mengubah jalannya percaturan kekuasaan di kawasan Sulawesi Selatan pada Abad
XVII. Dalam banyak buku tentang ketokohan dan perjuangannya, seringkali membuat
pembaca, khususnya peminat Sejarah Sulawesi Selatan yang bukan orang Bugis
Makassar menjadi bingung karena banyaknya nama yang dilekatkan pada diri Arung
Palakka. Berikut ini penjelasan satu persatu mengenai nama - namanya.
1.
La Tenri
Tatta Toappatunru, adalah
nama kecil dan nama remaja Arung Palakka. Kata depan “La” pada depan namanya
tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah Bangsawan (Laki - laki).
Kata “Tenri” itu artinya Tidak, sedang Tatta bermakna kemauan. ” Toappatunru”
artinya adalah yang menundukkan. (To = orang, Appatunru = yang menundukkan).
Jadi, “La Tenri Tatta Toappatunru” itu artinya Laki - laki (bangsawan) yang
tidak dapat dibatasi kemauannya dan orang yang menundukkan.
2.
Daeng
Serang adalah
nama Arung Palakka saat berada di Makassar (Saat Bone telah dijajah oleh Gowa,
Arung Palakka dan keluarganya dipekerjakan di rumah bangsawan tinggi Gowa
sedang Orang Bugis Bone - Soppeng lainnya menderita kerja paksa membangun
benteng - benteng Makassar. Arung Palakka pun juga merasakan kerja paksa
bersama rakyatnya tersebut).
3.
Datu
Marioriwawo, artinya
Raja di Marioriwawo. Marioriwawo adalah kerajaan yang ada di Soppeng. Kerajaan
ini adalah warisan dari ibunya, We Tenrisui Datu Mario Riwawo.
4.
Arung
Palakka, artinya
Raja di Palakka. Palakka adalah salah satu kerajaan yang ada dalam wilayah
Bone. Kerajaan Palakka adalah warisan dari kakeknya, La Tenri Ruwa Arung
Palakka MatinroE ri Bantaeng (Raja Bone XI). Menurut tradisi Kerajaan Bone
bahwa, “Yang berhak menjadi Raja di Palakka, berhak pula menjadi Raja di Bone
(Arung Mangkaue’ ri Bone), namun tidak semua Raja Bone pernah menjadi Raja di
Palakka”. (Kasim, 2002).
5.
Petta
Malampeq Gemmekna, artinya
Raja yang berambut panjang. Nama ini terkait dengan sumpahnya bahwa Arung
Palakka tidak akan memotong rambutnya jika belum berhasil membebaskan rakyatnya
dari penjajahan Gowa. (Petta itu sebutan untuk bangsawan tinggi Bugis, Malampeq
= panjang, Gemmekna = panjang rambutnya). Rambut Arung Palakka tersebut terus
menyertai masa perjuangannya (1660 - 1667) dan nantilah dipotong setelah
perjuangannya dianggapnya telah berhasil.
6.
Arung Ugi, artinya Raja Bugis (Kompeni Belanda
menyebutnya Koningh der Bougis). Gelar ini melekat pada Arung Palakka setelah
membebaskan negerinya dari cenkeraman kekuasaan Gowa dan menjadi Penguasa
atasan (Raja tertinggi) semua negeri / kerajan Bugis. (Ugi artinya Bugis).
7.
Petta
Torisompae’, artinya
Raja yang disembah. Gelar ini melekat pada Arung Palakka sebagai sebuah sebutan
dari rakyatnya karena begitu diagungkannya sosoknya sebagai ‘Pahlawan’ dan Raja
yang berjasa menaklukkan Kerajaan Makassar.
8.
Sultan
Saaduddin, adalah
nama atau gelar Islam untuk Arung Palakka.
9.
Matinroe
ri Bontoala ,
artinya yang meninggal di Bontoala, istananya di Makassar.
Sebenarnya masih ada lagi beberapa nama
yang melekat pada diri Arung Palakka, Raja Bone XV ini, seperti Datu Pattiro,
Datu Lamuru, dan lain sebagainya tapi tidaklah terlalu populer dan yang umum
disebut adalah nama - nama di atas.
Persekutuan
dengan VOC
Arung
Palakka adalah seorang jagoan yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah
berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan
seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk
selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis Bone dengan badik yang sanggup
memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika
ia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman & keperkasaan Sultan Hasanuddin.
Batavia
di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian
tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah
udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah
satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus
dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme
Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes
bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa
sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi
sesamanya.
Nama Arung
Palakka terdapat pada sebuah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),
berisikan data sejarah tentang Batavia pada masa silam dengan sejarah yang
kelam. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit kisah tentang pria yang
patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung
Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang
menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone
yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan
meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya.
Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala
ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya
yaitu pria Belanda bernama Cornelis
Janszoon Speelman dan
seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten
Jonker. Ketiganya
membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya,
termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga
tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan pada masa itu. Speelman
adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan
karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat
sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran
Bone yang hidup terjajah dan dalam tawanan Kerajaan
Gowa. Ia
memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya
dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bone
ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang
panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut
setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya
sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah
luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik
Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang
sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama
mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat
dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka,
Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu setelah terjadinya Perjanjian Bongaya yang menjadi momok bagi VOC serta
rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah-
rempah Maluku, pada tanggal 18 November 1667.
Arung
Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan
perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua
sisi diametral, di satu sisi hendak membebaskan Bone, namun di sisi lain justru
menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat
perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang
kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang
di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat Minang
mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang bernama Jacob
Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke Minangkabau dalam ekspedisi yang
dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bone, ia berhasil meredam
dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai
barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan
VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka
diangkat sebagai Raja Ulakan.
Sedang
Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai
keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu
Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di
Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada
puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak
heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa
itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya
bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu
bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar
serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal
VOC pada tahun 1681.
Sayangnya,
kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang
tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac
declornay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang
memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa
Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga
akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga
berhasil memengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten
Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung,
kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu,
kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya
diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Arumpone
Bone
Menggantikan
ibunya sebagai Datu Mario-ri Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung Palakka
sebagai hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belanda sebagai Arung Pattiru, Palette dan
Palakka di Bone and Datu Mario-ri Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670.
Menyatakan
penurunan paksa tahta paman kandungnya pada 1672. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone
dengan gelar Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, 3
November 1672.
Andaya
mengarahkan perhatiannya kepada Arung Palakka sebagai wakil dari tema dan
kepercayaan dasar yang sampai sekarang menguasai kehidupan orang Bugis atau
Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari akar sebab Arung Palakka rela
bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya sendiri di Kerajaan Gowa yang sedang jaya-jayanya sebagai salah
satu kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.
Jawaban
persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika dicari dalam kerangka
persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut Nusantara, antara Kerajaan Gowa dan VOC, yang memuncak dalam Perang
Makassar 1666-1669, sebagaimana diyakini para sarjana lokal dan mancanegara.
Alasan pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis, tetapi pangadereng yang
meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan
sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa
seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini
melalui tindakan orang itu sendiri).
Tanpa
memahami ketiga ciri kultural yang memegang peranan sangat penting dalam
sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan keruh selamanya menilai Arung Palakka.
Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu
tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu siri’,
pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai untuk menilai dan
mengevaluasi kejadian penting di abad itu, ketimbang standar masa kini.
Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik yang
sampai kini masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang
Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.
Berlatar
belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah
ciri tertentu budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan
keadaan historis abad ke-17, terutama perkembangan Islam dan perdagangan
internasional yang memuncak menjadi ketegangan antara Gowa, Bone, dan VOC yang hadir di sana sejak
tahun 1601. Ketegangan yang dia perlihatkan dengan rinci menjadi latar
kelahiran serta mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung Palakka.
Lantaran
banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng
diperintahkan keluar dari istana, bekerja bersama rakyatnya. Ini
melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat Bone dan
Soppeng karena junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tidak
seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bone dan Soppeng
dan menebalkan pacce di antara mereka. Perlawanan pun dirancang.
Arung
Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi perlawanan itu patah oleh
kekuatan Gowa yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 dia meninggalkan Sulawesi
Selatan bersama pengikutnya menuju Batavia dengan bantuan VOC, namun dalam
hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali, buat
perhitungan, dan merdekakan negeri Bone.
Setelah
menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur
pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke ("Orang Angke", diambil
dari Kali Angke yang mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat
membantu memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi Gowa yang dinilai mengganggu kepentingan
ekonomi VOC.
Andaya
memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar. Salah satu yang menarik
adalah ditunjukkannya psikologi Arung Palakka dan Cornelis Speelman yang
menjadi aktor utama pilihan VOC memimpin ekspedisi ke Kerajaan
Gowa.
Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga rela
berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman yakin cuma kemenangan yang
bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan tidak hormat karena
perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Sementara
bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari beban berat bahwa
siri’-nya telah mati.
Hanya
dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia dapat memperlihatkan wajah di
Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate ri
siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’
adalah "mati dengan siraman gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri
santannge). Situasi psikologis itulah yang mendorong keduanya "mentafsir
ulang" perintah VOC.
Hal lain
yang menarik adalah kajian Andaya mengenai dampak perang itu atas rakyat
Makassar. Melalui cerita rakyat Bugis, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua, dia
memperlihatkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan
Makassar dan Bugis sebagai kemenangan rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka
yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam
masyarakat, yaitu siri’, pacce, dan sare.
Ini
sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia
yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Makassar dan/atau dokumen VOC.
Mereka cenderung menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para raja
dan ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar. Jadi,
seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat menurunkan kadar emosional dan
lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai
Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami bahwa VOC telah menjadi kekuatan
"di", namun bukan "milik", Sulawesi Selatan. Perbedaan ini
disadari dan dimanipulasi untuk menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa
atasan yang berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana
dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak akan berbalik melawan VOC
yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya, tetapi juga dengan selalu
membuktikan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk
berperang membantu VOC menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar pimpinan Karaeng
Galesong yang membantu perlawanan Trunojoyo di Jawa.
Akhirnya,
Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh yang diberkati visi dan
kepiawaian politik yang kuat sehingga mampu menggunakan pengaruhnya dengan
efektif terhadap negara lokal, bahkan membuat pemerintah pusat VOC di Batavia
bergantung dan rela mengabaikan suara wakilnya di Fort Rotterdam agar
membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka semua berbagi mimpinya akan
Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi
Arung Palakka yang dalam 30 tahun kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi
sekaligus membuat banyak pangeran dan pengikutnya yang tak setuju
dikarenakan politik kotor yang dilakukannya. Sehingga mengakibatkan pangeran
dan pengikutnya lari dan mencari rumah di tanah seberang sehingga mewarnai
sejarah daerah tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya sebagai warisan Arung
Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi Selatan tetapi juga bagi Nusantara, selain
pribadinya sebagai pemimpin yang sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan
tradisi sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak
tertulis.
Warisan
Arung Palakka
ARUNG
Palakka bukan sekadar nama, dia adalah sebuah pengertian. Sosok yang merupakan
maujud dari panngadereng atau bentuk kebudayaan orang Bugis/Makassar, Sulawesi
Selatan. Begitulah yang terasakan selama membaca Warisan Arung Palakka: Sejarah
Sulawesi Selatan Abad ke-17 Karya Leonard Y Andaya.
ANDAYA
mengarahkan perhatiannya kepada Arung Palakka sebagai wakil dari tema dan
kepercayaan dasar yang sampai sekarang menguasai kehidupan orang
Bugis/Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari akar sebab Arung Palakka rela
bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya sendiri di Kerajaan Goa yang
sedang jaya-jayanya sebagai salah satu kerajaan terkuat dan terbesar di
Nusantara abad ke-17.
Jawaban
persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika dicari dalam kerangka
persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut Nusantara, antara Kerajaan Goa
dan VOC, yang memuncak dalam Perang Makassar 1666-1669, sebagaimana diyakini
para sarjana lokal dan mancanegara. Alasan pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis,
tetapi panngadereng yang meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa
malu), pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan
sare (kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek
peruntungannya dalam hidup ini melalui tindakan orang itu sendiri).
Tanpa
memahami ketiga ciri kultural yang memegang peranan sangat penting dalam
sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan keruh selamanya menilai Arung Palakka.
Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu tidak
ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu siri’,
pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai
untuk menilai dan mengevaluasi kejadian penting di abad itu, ketimbang standar
masa kini. Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik
yang sampai kini masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang
Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.
BERLATAR
belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah
ciri tertentu budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan
keadaan historis abad ke-17, terutama perkembangan Islam dan perdagangan
internasional yang memuncak menjadi ketegangan antara Goa, Bone, dan VOC yang
hadir di sana sejak tahun 1601. Ketegangan yang dia perlihatkan dengan rinci
menjadi latar kelahiran serta mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung
Palakka.
Arung
Palakka lahir sekitar tahun 1635 di Desa Lamatta, daerah Mario Wawo Soppeng,
sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone. Ketika umurnya delapan tahun, Bone
diperangi Goa yang gusar dan berhasil menaklukkannya. Sejak berumur 11 tahun
Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Goa. Mereka
beruntung karena menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan
jenius di Kerajaan Goa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi
pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.
Meski dia
terlibat aktif di Istana Goa dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’
dan pacce mengingatkannya selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan
dan bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin
hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari Bone
ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan
Regent (Bupati) Bone, Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di
sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah antara Kerajaan Goa
dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki VOC.
Lantaran
banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng
diperintahkan keluar dari istana, bekerja bersama rakyatnya. Ini
melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat Bugis karena
junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tidak seharusnya. Pelecehan
siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bugis dan menebalkan pacce di antara
mereka. Perlawanan pun dirancang.
Arung
Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi perlawanan itu patah oleh
kekuatan Goa yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 dia meninggalkan
Sulawesi bersama pengikutnya menuju Batavia dengan bantuan VOC, namun dalam
hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali, bikin
perhitungan, dan merdekakan negeri Bugis.
Setelah
menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur
pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke (“Orang Angke”, diambil dari Kali
Angke yang mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat membantu
memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi Goa yang dinilai
mengganggu kepentingan ekonomi VOC.
ANDAYA
memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar. Salah satu yang menarik
adalah ditunjukkannya psikologi Arung Palakka dan Cornelis Speelman yang
menjadi aktor utama pilihan VOC memimpin ekspedisi ke Goa. Keduanya menderita
oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga rela berkorban apa pun demi
memulihkan nama.
Speelman
yakin cuma kemenangan yang bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan
tidak hormat karena perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel
tahun 1665. Sementara bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari
beban berat bahwa siri’-nya telah mati.
Hanya
dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia dapat memperlihatkan wajah
di Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate
ri siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk
memulihkan siri’ adalah “mati dengan siraman gula dan santan” (mate ri
gollai, mate ri santannge). Situasi psikologis itulah yang mendorong
keduanya “menafsir ulang” perintah VOC dan menjalankan “jihad” terhadap Goa.
Hal lain
yang menarik adalah kajian Andaya mengenai dampak perang itu atas rakyat
Makassar. Melalui cerita rakyat Makassar, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua,
dia memperlihatkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang dimaknai rakyat
pedesaan Makassar sebagai kemenangan rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka
yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam
masyarakat, yaitu siri’, pacce, dan sare.
Ini
sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia
yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Bugis-Makassar dan/atau dokumen
VOC. Mereka cenderung menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para
raja dan ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar.
Jadi, seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat menurunkan kadar emosional
dan lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai
Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami bahwa VOC telah menjadi kekuatan
“di”, namun bukan “milik”, Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari dan
dimanipulasi untuk menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa atasan
paling berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana
dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak akan berbalik melawan VOC
yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya, tetapi juga dengan selalu
membuktikan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk
berperang membantu VOC menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar pimpinan
Karaeng Galesong yang membantu perlawanan Trunajaya di Jawa.
Akhirnya,
Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh yang diberkati visi dan
kepiawaian politik yang kuat sehingga mampu menggunakan pengaruhnya dengan
efektif terhadap negara lokal, bahkan membuat pemerintah pusat VOC di Batavia
bergantung dan rela mengabaikan suara wakilnya di Fort Rotterdam agar
membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka semua berbagi mimpinya akan
Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi
yang dalam 30 tahun kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus membuat
banyak pangeran dan pengikutnya yang tak setuju lari mencari rumah di tanah
seberang sehingga mewarnai sejarah daerah tujuan itu. Inilah yang menurut
Andaya sebagai warisan Arung Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi Selatan tetapi
juga bagi Nusantara, selain teladan pribadinya sebagai pemimpin yang sadar,
paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi politik yang bermartabat
sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar